- Wakil Bupati Pelalawan H. Marwan Ibrahim saat membacakan sambutan Menteri Kominfo RI pada Acara Hari Kebangkitan Nasional ke-106 tahun 2014.
Dalam sambutannya
Menteri Komunikasi dan Informasi RI Tifatul Sembiring yang dibacakan pembina
upacara Drs.H.Marwan Ibrahim mengatakan, bahwa momentum 1908 dan 1928 adalah
momentum kaum muda yang bercita-cita Indonesia merdeka. Pemikiran dan cita-cita
mereka, berlanjut melalui perjuangan para pemuda periode tahun 1945-1949.
Mereka berjuang bagi tegaknya bangunan ke-Indonesaan yang merdeka dan
berdaulat. Revolusi kemerdekaan yang membangun nasionalisme tanpa pandang bulu,
revolusi yang menjadi motor penggerak mobilitas sosial bagi seluruh komponen
bangsa. Revolusi yang pada gilirannya memberi ruang dan peluang bagi setiap
anak bangsa untuk berbakti, mengabdi dan berkiprah sesuai profesi, keahlian dan
bidang yang digelutinya. Inilah makna nasionalisme sesungguhnya, yakni
penerapan cara berpikir, bersikap dan berperilaku yang secara ideologis
merupakan kristalisasi kesadaran berbangsa dan bernegara.
Sejalan dengan semangat
dan jiwa kebangkitan nasional tersebut, maka peringatan Hari Kebangkitan
Nasional ke-106 tahun 2014 ini mengambil tema “MAKNAI KEBANGKITAN NASIONAL
MELALUI KERJA NYATA DALAM SUASANA KEHARMONISAN DAN KEMAJEMUKAN BANGSA”. Tema
ini mengandung tiga makna yang sekaligus menjadi instrumen ukuran sejauh mana
nilai-nilai nasionalisme terimplementasi dalam karsa, cipta dan karya kekinian
kita secara nyata. Artinya, nasionalisme bukan sekedar diskursus dan wacana
yang sorak-sorai. Makna nasionalisme kekinian bukan lagi kamuflase kerinduan
romantisme perjuangan masa lalu. Tetapi bagaimana kita mengimplementasikan
romantisme perjuangan tersebut kedalam pola pikir, pola sikap dan perilaku
kebangsaan selaras dengan tuntutan zaman. Membangun Indonesia baru di masa
depan adalah antitesis dari kepentingan kelompok dan individu, antitesis
berpikir kedaerahan, antitesis dari cara berperilaku kepartaian atau golongan.
Nasionalisme yang diperlukan adalah nasionalisme yang berkontribusi bagi
kedaulatan dan harga diri bangsa kita.
Makna kedua, bahwa kita
pada dasarnya menginginkan sebuah keharmonisan dalam perilaku kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nasionalisme terbangun bukan dari
perilaku saling menuding, bukan saling menyalahkan dan bahkan bukan untuk
saling menyingkirkan. Kekuatan kebangsaan tersemai dalam kohesivitas yang
harmonis dari kekuatan dan energi potensi yang telah kita miliki. Komitmen
untuk berbagi dan bersinerji dalam rangka mewujudkan cita-cita nasional itulah
yang menjadi ukuran, sejauh mana karsa, cipta dan karya kita sudah memberikan
kekuatan bagi terbangunnya keharmonisan perilaku kita dalam bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang amanah.
Makna ketiga, adalah
memberi rujukan bahwa kekuatan sebuah bangsa tercirikan dari bagaimana
perbedaan dan kemajemukan dapat terkelola menjadi kekuatan. Itulah niat mulia
untuk menyatukan perbedaan-perbedaan yang dimiliki bangsa ini melalui Sumpah
Pemuda pada 28 Oktober 1928. Indonesia yang memiliki lebih dari 300 kelompok
etnis, lebih dari 250 bahasa daerah dalam percakapan; keragaman dan komposisi
pemeluk agama yang tersebar di seluruh nusantara adalah sebuah kekayaan
sekaligus kekuatan. Sebagai Negara yang kaya akan keberagaman etnis, suku,
budaya, dan agama, menyadari bahwa kohesivitas kesadaran akan keragaman
senantiasa harus terjaga secara terus menerus dan berkesinambungan. Nilai-nilai
toleransi akan perbedaan, nilai-nilai kemajemukan yang tumbuh berkembang atas
dasar komitmen dan kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak boleh
luntur sampai kapanpun.
Namun demikian,
fenomena kemajemukan yang bergulir akhir-akhir ini tampaknya sedikit mengalami
penggerusan dari hakekat nasionalisme itu sendiri. Semangat persatuan demi
menjunjung tinggi sikap nasionalisme yang dulu didambakan dan dibanggakan kini
menjadi kekhawatiran kita bersama. Konflik antar etnis, antar agama, tawuran
antar pelajar, tawuran antar warga, sikap prasangka antar kepentingan, konflik
horizontal dan gangguan keamanan yang masih sering terjadi adalah fenomena
kebangsaan yang perlu kita sikapi secara hati-hati. Demikian pula sikap dan
perilaku yang mengutamakan kepentingan perorangan dan golongan, superioritas
kelompok tertentu yg merasa lebih unggul dari kelompok lain, masalah narkoba,
pornografi, menjamurnya perilaku koruptif, dan bentuk-bentuk sekat pemisah
antara “We and Them”, adalah pola pikir, pola sikap dan perilaku yang harus
kita hilangkan. Oleh karena itu, semangat dan makna peringatan Hari Kebangkitan
Nasional Tahun 2014 ini, adalah semangat untuk berani melakukan evaluasi diri,
semangat bagi penguatan komitmen seluruh komponen dan potensi bangsa dalam
membangun Indonesia kedepan yang lebih baik.
Demikian, hal-hal yang
dapat saya sampaikan dalam kesempatan memperingati Hari Kebangkitan Nasional
ke-106 tahun 2014 yang berharga ini, mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita
semua. Sekali lagi, mari kita maknai peringatan Hari Kebangkitan Nasional ini
dengan karya nyata yang dilandasi rasa nasionalisme yang sesungguhnya. Selamat
Berkarya. (Humas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar