Jumat, 01 November 2013

Pulau Padang oh Pulau Padang


  • Areal Sei Hiyu, Tanjung Padang luluh lantak.
  • Anggota DPD/ MPR RI Ibu Intsiawati Ayus turun tangan menyelesai Masalah ini.

MERBAU-KEPULAUAN MERANTI
SUARA RAKYAT RIAU

Setelah Dikonfirmasi oleh Media SRR mengenai permasalahan Lahan yang sangat rumit di Riau ini termasuk di kepulauan meranti, tentu kita butuh orang yang memperhatikan dan menggiring permasalahan ini kearah yang tidak merugikan masyarakat Riau, Anggota Dewan Seperti Ibu Intsiawati Ayus adalah orang sangat rakyat harapkan, dari hasil kerja, kunjungan dan survey beliau ke Kepulauan meranti, tepatnya Dikecamatan Merbau beliau telah berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk menyelesaikan permasalahan ini.

Alhamdulillah situasi tegang kemarin di Tanjung Gambar-Lukit sudah mereda. Antara masyarakat Pulau Padang dan perusahaan tercapai kesepakatan untuk dilakukannya penghentian sementara (status quo) operasional perusahaan di wilayah tersebut. SMS dari Dirjen HTI yang mendapat informasi dari Kepala Balai Kehutanan di Riau menyatakan bahwa penolakan masyarakat dilatarbelakangi karena pembangunan areal Pelabuhan di kawasan tersebut dikarenakan belum selesainya soal ganti rugi. Padahal esensi masalah bukan itu. Sebagaimana jawaban yang saya terima dari Kementerian Kehutanan pada saat melakukan RDP, selalu jawaban yang normatif dan sama sekali tidak menghiraukan fakta empiris di lapangan dan ‘buta’ terhadap gejolak yang terjadi di masyarakat.

Secara jelas Masyarakat Pulau Padang khususnya di seluruh desa di Kec. Merbau mempertanyakan dasar revisi SK yang hanya mengeluarkan Desa Bagan Melibur, Desa Mengkirau dan sebagian Desa Lukit? Masyarakat dari 10 Desa dan 1 kelurahan, di Kecamatan Merbau antara lain Desa Lukit, Pangkalan Barat, Sungai Anak Kamal, Mekar Sari, Mayang Sari, Sungai Tengah, Pelantai, Bagan Melibur, Mengkirau, Kurau dan Teluk Belitung menyatakan tuntutannya kepada Kami DPD RI bahwa mereka menolak secara mutlak SK tersebut. Masyarakat mempertanyakan mengapa desa-desa lainnya yang 100% menolak tidak termasuk yang dienclave?
Penolakan masyarakat bukan soal pelabuhan atau hak lahan di areal pelabuhan tsb saja tapi pembangunan kanal-kanal di pulau Padang & land clearing yg dilakukan di kawasan tersebut bisa berdampak kerusakan bagi desa lainnya antara satu desa dengan desa lainnya berada dalam satu lingkungan hidup yg saling terkait secara ekologis..
Sebagai pulau kecil, antara satu wilayah dengan wilayah lainnnya tak terpisahkan. Masyarakat Pulau Padang secara keseluruhan merupakan satu kesatuan wilayah terintegrasi. Masyarakat setiap desa saling bergantung (bersimbiosis) dengan desa yang lainnya baik dalam hal mata pencaharian, sumber pangan, sumber papan, hingga sumber air. Dengan demikian perubahan apapun dari suatu wilayah secara langsung akan dirasakan dampaknya oleh masyarakat wilayah lainnya..
Keberadaan perusahaan secara nyata telah mengancam sumber kehidupan dan penghidupan masyarakat yang mayoritas sudah mandiri secara ekonomi. Untuk kehidupan sehari-hari mereka sudah tercukupi di antaranya dengan pohon sagu yang berfungsi sebagai tabungan masyarakat (salahsatu produsen terbesar di Indonesia dengan kualitas terbaik) dan karet sebagai sumber penghidupan sehari-hari.
Dalam kondisi normal masyarakat Pulau Padang tidak pernah kekurangan uang dan mereka tidak membutuhkan adanya investasi di wilayah mereka. Justru masuknya perusahaan akan merusak tatanan dan mengancam keberlangsungan usaha mereka. Masyarakat yang bergantung dari sektor pertanian dan perkebunan membutuhkan lahan untuk penerus mereka. Juga adanya sumber-sumber alam di hutan sebagai penunjang hidup lainnya, seperti kayu yang digunakan secara bijak sebagai bahan pokok rumah penduduk. Sudah puluhan tahun hutan alam terperlihara baik oleh masyarakat.
Kedatangan perusahaan adalah ancaman malapetaka bagi keberlanjutan kehidupan & lingkungan hidup mereka. Dampak kerusakan hutan alam dan gambut secara nyata kini telah terjadi di wilayah Tanjung Padang tempat perusahaan beroperasi kembali. Banyak penduduk kini berhijrah ke Malaysia. Sedikit masyarakat yang tertampung kerja di perusahaan, sisanya menganggur dan mengeluh.
12 janji lama PT. RAPP yang dituntut masyarakat Kec. Tasik Putri Puyuh yg saat ini sudah menjerit kemudian janji itu dijanjikan untuk direalisasi pada saat Dialog bersama saya pada bulan Juni yg dihadiri 10 Kades, di antaranya realisasi jalan 12 Km, dll, tidak satupun direalisasikan hingga saat ini.
Tak heran jika secara mayoritas masyarakat Kec. Merbau menolak secara mutlak adanya konsesi HTI di Pulau terluar Indonesia tersebut. Di samping merusak tatanan kehidupan. Janji-janji manis perusahaan tak pernah terbukti!
Saya mendengar pernyataan langsung dari masyarakat bahwa mereka saat ini tdk akan mundur selangkahpun dari sikap mereka. Sikap itu wajar sebagaimana apa yang saya alami di Jakarta. Berbagai upaya saya di pusat untuk terus mendialogkan solusi masalah ini seolah berhadapan dinding beton yang tak memiliki perasaan.. (“Ujar Intsiawati Ayus”)  (*003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar